REVOLUSI INDUSTRI 4.0 : PELUANG DAN TANTANGAN BAGI UNIVERSITAS TERBUKA
A. Apa itu revolusi
industri 4.0?
Adalah Prof Klaus Schwab, Ekonom terkenal dunia asal
Jerman, Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) yang mengenalkan
konsep Revolusi Industri 4.0. Dalam bukunya yang berjudul “The Fourth
Industrial Revolution”, Prof Schawab (2017) menjelaskan revolusi industri 4.0
telah mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental. Berbeda dengan revolusi industri sebelumnya,
revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan
kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan
dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu,
ekonomi, industri dan pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan
berkat kemajuan teknologi baru diantaranya (1) robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), (2)
teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5)
blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer
3D.
Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari
perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Menurut
Prof Schwab, dunia mengalami empat revolusi industri. Revolusi industri 1.0
ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api
dan kapal layar. Berbagai peralatan kerja yang semula bergantung pada tenaga
manusia dan hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin uap. Dampaknya,
produksi dapat dilipatgandakan dan didistribusikan ke berbagai wilayah secara
lebih masif. Namun demikian, revolusi industri ini juga menimbulkan dampak
negatif dalam bentuk pengangguran masal.
Ditemukannya enerji listrik dan konsep pembagian tenaga
kerja untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar pada awal abad 19 telah
menandai lahirnya revolusi industri 2.0. Enerji listrik mendorong para imuwan
untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan
teknologi ban berjalan. Puncaknya, diperoleh efesiensi produksi hingga 300
persen.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
pesat pada awal abad 20 telah melahirkan teknologi informasi dan proses
produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi
dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem otomatisasi
berbasis komputer. Dampaknya, biaya produksi menjadi semakin murah. Teknologi
informasi juga semakin maju diantaranya teknologi kamera yang terintegrasi
dengan mobile phone dan semakin
berkembangnya industri kreatif di dunia musik dengan ditemukannya musik
digital.
Revolusi industri mengalami puncaknya saat ini dengan
lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di
seluruh dunia. Revolusi industri terkini atau generasi keempat mendorong sistem
otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin
masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga
telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online.
Munculnya bisnis transportasi online seperti Gojek, Uber dan Grab menunjukkan
integrasi aktivitas manusia dengan teknologi informasi dan ekonomi menjadi
semakin meningkat. Berkembangnya teknologi autonomous
vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media sosial, bioteknologi dan
nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah
berubah secara fundamental.
![]() |
Gambar 1 Revolusi Industri 4.0 |
B. Peluang
Revolusi industri
4.0 membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju. Teknologi informasi
yang semakin mudah terakses hingga ke seluruh pelosok menyebabkan semua orang
dapat terhubung didalam sebuah jejaring sosial. Banjir informasi seperti yang
diprediksikan Futurolog Alvin Tofler (1970) menjadi realitas yang ditemukan di
era revolusi industri saat ini. Informasi yang sangat melimpah ini menyediakan
manfaat yang besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun perekonomian.
Jalaluddin Rakhmat (1997:6) membagi era informasi kedalam lima karakteristik, yaitu Kekayaan, Teknosfer, Infosfer, Sosiosfer, dan Psikosfer. Karakteristik informasi sebagai kekayaan menunjukkan bahwa informasi yang diterima dan dikuasai seseorang dapat dimanfaatkan untuk sarana akumulasi kekayaan atau sumber komersialisasi. Dalam konteks ini, alumni atau mahasiswa dapat mempromosikan hasil kreasinya kepada publik melalui jejaring media sosial untuk mendapatkan tanggapan atau respon sehingga dapat dijadikan ukuran untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya. Telah banyak kisah sukses pengusaha-pengusaha muda atau bahkan ibu rumah tangga dalam menjalan bisnis mereka dengan memanfaatan teknologi informasi khususnya media sosial. Kunci kesuksesan mereka adalah menjual produk inovatif, menjaga kualitas dan kepercayaan konsumen, dan tentu saja kreatif.
Karakteristik informasi yang kedua adalah teknosfer atau pola lingkungan teknologi. Masyarakat di era revolusi industri 4.0 memiliki ketergantungan yang sangat besar dalam menggunakan teknologi informasi. Sebuah survey pada tahun 2014 dilakukan oleh Nokia menemukan temuan-temuan yang mengejutkan mengenai tingkat ketergantungan manusia terhadap teknologi. Pertama, rata-rata hampir setiap enam setengah menit seseorang mengecek ponselnya. Bahkan dalam waktu 16 jam saat orang beraktivitas, mereka melakukan 150 kali per hari untuk memerika ponsel mereka. Kedua, satu dari empat orang mengakui durasi onlinenya lebih banyak daripada durasi tidurnya dalam setiap harinya. Ketiga, 1.500 responden di Inggris menghabiskan waktunya dengan bermedia sosial selama 62 juta jam per hari. Keempat, perempuan lebih sering berselancar di facebook daripada laki-laki. Kelima, tingkat kecanduan terhadap media sosial seperti twitter dan facebook lebih tinggi daripada merokok.Fakta ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa ataupun alumni UT untuk memasarkan produknya dengan menggunakan pasar virtual di media sosial. Saat ini pasar atau toko secara fisik tidak lagi populer. Disamping ongkos pembangunan atau sewanya mahal, pasar konvensional makin sulit dijangkau karena kepadatan lalu lintas dan mahalnya biaya transportasi.
Infosfer atau bentuk lingkungan informasi merupakan
karaker ketiga dari era informasi. Daya jangkau teknologi informasi tidak hanya
berskala lokal tetapi hingga skala global. Melalui internet, akses informasi
dapat dijangkau hingga ke berbagai penjuru dunia. Fakta ini menjadi peluang
bagi para wirausahawan muda untuk mempromosikan produk-produk kreatifnya hingga
ke berbagai belahan dunia. Riset yang
saya lakukan juga menguatkan hal tersebut. Meskipun skala bisnis UMKM terbilang
kecil, tetapi produk-produknya dapat dinikmati oleh pasar regional berkat
dukungan teknologi internet.
Karakteristik era informasi lainnya adalah sosiosfer atau
pergeseran lingkungan komunikasi sosial. Dulu para guru, kyai, ulama, pendeta,
birokrat dan politisi memiliki pengaruh yang besar sebagai agen sosialisasi.
Namun saat ini, peran sosialisasi tradisional mereka telah diambil alih oleh
media komputer dan smarthphone. Efek
ketergantungan yang tinggi dalam penggunaan media informasi digital telah
membentuk opini setiap individu. Saat ini setiap orang memiliki akses yang
tinggi untuk terlibat aktif untuk memberikan dan membagikan opini kepada pihak
lain melalui media sosial online. Situasi ini membuka peluang bagi para
mahasiswa dan alumni untuk membentuk opini positif tentang berbagai hal kepada
pihak lain. Bahkan teknologi media sosial dapat dimanfaatkan untuk membentuk
“keluarga besar alumni UT” di dunia virtual, walaupun secara geografis berjauhan
tetapi didekatkan dengan media sosial. Hal ini menjadi peluang untuk saling
bekerja sama diantara para alumni untuk berbagi informasi maupun transaksi
bisnis online.
Karakteristik era informasi yang terakhir adalah
psikosfer. Karakter psikosfer merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan
dalam era “banjir” informasi. Melimpahnya informasi tentunya tidak hanya
membawa pengetahuan positif tetapi juga negatif. Kemampuan seseorang untuk
mengolah pengetahuan (knowledge) menjadi
kearifan (wisdom) dalam lingkungan
sosialnya akan menentukan tingkat ketahanannya di era informasi. Dengan
demikian, tindakan share and resharing
informasi telah didasari oleh nilai-nilai etis sehingga tidak akan menciptakan eskalasi
kegaduhan publik.
Sebagai contoh, derasnya informasi hoax (berita bohong) menjelang pilkada serentak maupun pilpres
tidak akan meningkatkan kegaduhan jika penerima informasi telah memiliki kesadaran
etis dalam menyaring informasi hoax.
Dalam bahasa sederhananya: mahasiswa dan alumni UT harus memiliki pedoman etis
“think first before you share”. Oleh
karena itu, peluang yang dapat diambil oleh para mahasiswa dan alumni UT dalam
konteks ini adalah dengan ikut berperan mempromosikan literasi etis untuk menggunakan media informasi secara
sehat.
B. Tantangan
Revolusi
industri generasi empat tidak hanya menyediakan peluang, tetapi juga tantangan
bagi generasi milineal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pemicu
revolusi indutri juga diikuti dengan implikasi lain seperti pengangguran, kompetisi
manusia vs mesin, dan tuntutan kompetensi yang semakin tinggi.
Menurut Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi industri 4.0 dalam lima tahun mendatang akan menghapus 35 persen jenis pekerjaan. Dan bahkan pada 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang akan hilang bertambah menjadi 75 persen. Hal ini disebabkan pekerjaan yang diperankan oleh manusia setahap demi setahap digantikan dengan teknologi digitalisasi program. Dampaknya, proses produksi menjadi lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah didistribusikan secara masif dengan keterlibatan manusia yang minim. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan berkembangnya sistem online perbankan telah memudahkan proses transaksi layanan perbankan. Akibatnya, 48.000 teller bank harus menghadapi pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi.
Bahkan menurut
survey McKinsey, sebuah korporasi konsultan manajemen multinasional, di
Indonesia sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan berpotensi digantikan dengan
sistem digital. Dengan kata lain, 52 persen angkatan kerja atau
merepresentasikan 52,6 juta orang akan kehilangan pekerjaan.Secara lebih detil
Gambar 2 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang potensial diotomatisasikan
diantaranya usaha pengolahan (manufaturing), perdagangan ritel, transportasi
dan pergudangan, tenaga administrasi, konstruksi, layanan makanan dan
akomodasi, pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta layanan kesehatan dan
keuangan/asuransi. Dengan demikian, revolusi industri dapat mengancam makin tingginya
pengangguran di Indonesia.
![]() |
Gambar 2. Jenis Pekerjaan yang potensial diotomatisasikan |
Namun
demikian, bidang pekerjaan yang berkaitan dengan keahlian Komputer, Matematika, Arsitektur dan Teknik akan
semakin banyak dibutuhkan. Bidang-bidang keahlian ini diproyeksikan sesuai
dengan tuntutan pekerjaan yang mengandalkan teknologi digital.
Situasi pergeseran tenaga kerja manusia ke
arah digitalisasi merupakan bentuk tantangan yang perlu direspon oleh para
mahasiswa dan almuni Universitas Terbuka. Tantangan ini perlu dijawab dengan
peningkatan kompetensi alumni terutama penguasaan teknologi komputer,
keterampilan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama secara kolaboratif, dan
kemampuan untuk terus belajar dan adaptif terhadap perubahan lingkungan.
Sumber : slametrosyadi72@gmail.com
Komentar
Posting Komentar